HIV/AIDS dalam Persfektif Media. Mencegah Stigma Diskriminasi, Meningkatkan Pengetahuan
Dewasa ini, ditengah arus informasi yang menyebar begitu pesat, media memegang peran krusial dalam membentuk persepsi publik—termasuk tentang isu kesehatan seperti HIV/AIDS. Sayangnya, pemberitaan yang tidak akurat dan penuh stigma justru menimbulkan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Padahal, media harusnya menjadi garda terdepan dalam mengedukasi, bukan menjadi penyebar diskriminasi. Tantangannya adalah bagaimana media bisa memberitakan HIV/AIDS secara manusiawi, berbasis fakta medis, sekaligus mendorong empati sosial?
Isu Stigma dan Diskriminasi
Stigma terhadap ODHA lahir karena ketidaktahuan. Seseorang kerap menggambarkan HIV/AIDS sebagai "momok yang mematikan". Alih-alih menyebarkan informasi tentang kondisi medis yang bisa dikelola dengan pengobatan antiretroviral (ARV), seseorang justru acapkali menggambarkan HIV/AIDS sebagai “penyakit yang tak bisa disembuhkan”. Akibatnya, ODHA mengalami diskriminasi ganda yaitu dari penyakitnya sendiri dan dari masyarakat yang menjauhi mereka (diskriminasi).
Contoh nyata dari penyebaran informasi yang tidak benar (hoax) tentang HIV/AIDS adalah isu tentang penyebaran HIV/AIDS yang bisa melalui “kontak fisik" atau bahkan "melalui udara". Narasi seperti ini tidak hanya menyesatkan, tetapi bahkan menimbulkan stigma dan diskriminasi. Hal ini harus dihentikan, sebab telah lama dibantah oleh ilmu kedokteran.
Peran Media dalam Mecegah Stigma dan Diskriminasi
Media memiliki peran sentral dalam membentuk persepsi publik. Media mempunyai kekuatan untuk mengubah narasi. Melalui media, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA bisa dicegah dan dilenyapkan.
Pemberitaan HIV/AIDS hendaknya menekankan pada tiga aspek yaitu fakta medis, kisah inspiratif dan akses terhadap layanan Kesehatan.
1. Fakta Medis
Pemberitaan tentang HIV/AIDS hendaknya mennjelasan bahwa HIV/AIDS tidak menyebar melalui kontak fisik, alat makanan, kolam renang, atau udara melainkan penyebaran HIV/AIDS hanya dengan melalui cairan tubuh seperti air mani dan cairan vagina serta melalui jarum suntik yang digunakan bergantian.
2. Kisah Inspiratif
Beritakan kisah ODHA yang menjadi inspirasi bagi masyarakat seperti Scott Alfaz, Penderita HIV yang Kini Lulus S2 di Eropa dan Perjuangan 19 tahun Vivi Bersama AIDS.
3. Akses Layanan Kesehatan
Promosikan informasi tentang tes gratis, pengobatan, dan dukungan psikososial. Contohnya Yayasan Pendampingan Kesehatan Terpadu (YPKT) dan Rumah Sehat Al-Kahfi di Kota Parepare.
Tantangan dan Solusi
Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah mindset redaksi. Banyak media masih menganggap isu HIV/AIDS "kurang sensasional". Padahal, dengan angle yang kreatif—seperti kolaborasi dengan dokter atau aktivis pejuang HIV/AIDS—topik ini bisa jadi menarik sekaligus edukatif.
Solusi dari tantangan tersebut adalah melalui Pelatihan Jurnalis tentang bagaimana membekali pengetahuan serta memperkuat pemahaman tentang etika dalam meliput isu Kesehatan terkhusus tentang HIV/AIDS. Media bisa bermitra dengan lembaga seperti Kemenkes atau komunitas ODHA untuk menyajikan konten yang akurat dan bermanfaat.
HIV/AIDS bukan hanya isu medis, tapi juga ujian bagi kemanusiaan kita. Media, sebagai pilar demokrasi, harus memimpin perang melawan stigma dengan pena yang berempati. Karena melawan AIDS bukan sekadar tentang virus, tapi tentang memastikan tidak ada yang terpinggirkan akibat ketidaktahuan.