Unggul Islami Enterpreneurship

Menyulut Semangat Literasi: Catatan dari Sebuah Sesi Berbagi Menulis Artikel dan Berita


Mitraindonesia, Makassar-Tepat pukul 09.00 WITA, layar-layar laptop dan gawai mulai menyala dari berbagai penjuru Sulawesi, bahkan luar pulau. Suara moderator menggema di ruang virtual Zoom, menandai satu perhelatan sederhana, namun berdaya kuat: sesi berbagi literasi yang digelar Forum Fungsional Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Senin, 16 Juni 2025 pagi.

Di balik layar, lebih dari 260 peserta telah bergabung. Mereka datang dari latar belakang yang beragam: penyuluh, polisi kehutanan, pengendali ekosistem hutan, arsiparis, dan pegawai fungsional lainnya.

Meski sebagian besar belum pernah bertemu muka, pagi itu mereka terhubung oleh benang merah yang sama: keinginan untuk belajar menulis.

Kegiatan ini tak muncul begitu saja. Ia lahir dari keprihatinan yang pelan-pelan berubah menjadi gerakan. Bahwa banyak dari kita yang bekerja di sektor kehutanan, memiliki segudang cerita lapangan, kisah perjuangan, dan pengalaman mendalam—namun tak semuanya terdokumentasi, apalagi tersampaikan kepada publik luas. 

Maka, Forsi LHK Sulsel bekerja sama dengan BP2SDM Wilayah VI Makassar untuk memfasilitasi ruang belajar. Bukan pelatihan formal, tapi perjumpaan santai yang menyulut semangat menulis.

Kepala Balai BP2SDM Wilayah VI Makassar, Kamaruddin, membuka sesi dengan harapan besar. 

“Menulis bukan sekadar menuangkan kata,” ujarnya. 

“Ia adalah cara kita berbagi pengetahuan, menginspirasi, dan mengangkat suara dari balik hutan nan sunyi,” ucapannya bukan sekadar basa-basi. Ia tengah membayangkan masa depan, di mana aparatur sipil negara tak hanya bekerja dalam diam, tapi juga bercerita untuk perubahan.

Layar Zoom lalu menampilkan wajah Subhan Riyadi, arsiparis yang telah menulis lebih dari seribu artikel. 

“Berita adalah tentang ketepatan dan kejelasan,” katanya.

“Saya biasa pakai istilah ADIKSIMBA—Apa, Di mana, Kapan, Siapa, Mengapa, dan Bagaimana. Ini versi lokal dari 5W1H yang lebih membumi,” ungkap dia.

Ia tunjukkan contoh, beri tips, bahkan membocorkan bagaimana ia menulis cepat dalam waktu singkat. 

Menyudahi paparannya, Adi panggilan kecilnya, menyebut jangan menunggu sempurna untuk memulai menulis.

Para peserta mencatat, beberapa memotret layar, sebagian mengangguk perlahan.

Selanjutnya tampil Indah Novita Dewi, seorang penyuluh kehutanan yang pernah menjadi peneliti. Ia tak hanya bicara teknis, tapi menyentuh aspek emosi. 

“Menulis itu menyehatkan,” katanya. 

“Kadang kita terlalu penuh oleh ide, tapi tidak tahu ke mana harus disalurkan," terangnya. 

Indah menyarankan platform seperti Kompasiana sebagai tempat awal, sambil mengajak peserta untuk mulai dari hal sederhana: menulis tentang pengalaman sendiri.

Wajah terakhir yang tampil adalah Taufiq Ismail, pengendali ekosistem hutan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang juga dikenal produktif menulis. 

Ia berbicara cepat, ringkas, tapi padat. “Dunia ini makin cepat. Kalau menunggu waktu luang, tulisan kita tidak akan pernah lahir,” katanya sambil menunjukkan tampilan Canva yang ia rancang. 

“Saya menulis dari ponsel. Di halte, di ruang tunggu, bahkan di hutan sekalipun.”

Diskusi pun mengalir. Seorang peserta, Supratman Tabba, menyuarakan kegelisahan yang mewakili banyak orang: bagaimana menemukan motivasi menulis, menyaring ide-ide yang menumpuk, dan menulis dengan gaya yang menarik?

Jawaban Taufiq dan Indah saling melengkapi. Taufiq menyingkap kenyataan di balik motivasinya: kantor mewajibkan fungsional untuk menulis. Tapi dari kewajiban, lahir kebiasaan.

“Kadang kita perlu sedikit dorongan dari luar,” katanya.

Sementara Indah menambahkan, kalau ide terlalu banyak, tulis yang paling dekat dulu. Jangan kejar sempurna di awal.”

Mereka sepakat bahwa gaya storytelling adalah kunci membuat tulisan hidup. Menulis bukan sekadar menyusun data, tapi menghidupkan kembali kejadian. 

“Baca artikel-artikel National Geographic,” ujar Taufiq. 

“Di sana kita belajar bahwa data bisa disampaikan seperti kisah petualangan,” ungkap Mael, sapaan kecilnya.

Menjelang siang, sebagian peserta mulai pamit karena panggilan salat Dzuhur. Tapi masih ada lebih dari 200 orang yang bertahan. Diskusi semakin cair. Tanya-jawab bukan hanya soal menulis, tapi juga soal keberanian memulai.

Sudirman Sultan, Ketua Forsi LHK Sulsel, menutup sesi dengan suara yang tenang tapi penuh semangat. 

“Lusa, kita akan adakan sesi luring dengan narasumber lain. Jika semangat seperti ini terus ada, saya yakin, literasi lingkungan kita akan semakin kuat,” tegas Ketua Forsi LHK Sulsel.

Ia menyebut kemungkinan pelatihan menulis buku sebagai kelanjutan. Tak lagi sekadar artikel atau berita, tapi narasi panjang yang merekam zaman.

Pagi itu, ruang Zoom bukan hanya tempat belajar. Ia menjadi ruang pengakuan, bahwa aparatur sipil yang bekerja untuk hutan dan lingkungan juga bisa menjadi penulis yang bersuara. 

Dan dari timur Indonesia, semangat itu menyala—melintasi layar, menembus batas-batas administratif, menjadi gema literasi yang terus bertumbuh.


Penulis: Taufiq Ismail - Staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Baca Juga
Posting Komentar