FKDSI Desak DPR Tindaklanjuti Polemik Kuota dan Transparansi PDDI
Mitraindonesia, Jakarta – Forum Komunikasi Dosen Seluruh Indonesia (FKDSI) melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan aspirasi para dosen terkait Program Pendidikan Doktor bagi Dosen Indonesia (PDDI). Dalam pertemuan tersebut, FKDSI menekankan dua persoalan utama: keterbatasan kuota beasiswa dan lemahnya transparansi dalam proses seleksi. Rabu, 20 Agustus 2025.
Aspirasi
Dosen: Kuota Minim, Data Tidak Transparan
Perwakilan FKDSI,
Hasan, menegaskan bahwa perhatian negara terhadap dosen merupakan penentu masa
depan pendidikan tinggi.
“Filosofinya
sederhana: jika guru dan dosen diabaikan, maka kehancuran negara tinggal
menunggu waktu. Harapan kami untuk melanjutkan S3 kini seakan pupus,” ujarnya.
Ia menyoroti
ketiadaan data resmi dari kementerian mengenai jumlah pendaftar dan penerima
beasiswa PDDI.
“Sampai hari ini
tidak ada transparansi. Fakta ini sangat mengiris hati kami. Sebagai kaprodi
saja setiap seminar hasil selalu ada SK yang jelas, tetapi kementerian tidak
pernah membuka berapa yang daftar dan berapa yang lolos. Ini masalah serius,”
tegasnya.
Hal senada
disampaikan Renald yang mengungkapkan bahwa sejak awal pemerintah menjanjikan
5.000 kuota PDDI, namun realisasi jauh dari harapan. Berdasarkan data yang
dihimpun FKDSI melalui survei internal, hanya sekitar 200 dosen yang dinyatakan
lulus.
“Kami meminta
penambahan kuota sekaligus mendesak agar dilakukan Rapat Dengar Pendapat dengan
Kementerian Dikti. Aspirasi ini tidak bisa diabaikan,” katanya.
Selain soal
kuota, FKDSI juga menyoroti pengumuman hasil seleksi yang dianggap tidak
konsisten. Jadwal yang semula diumumkan pada 8–9 Agustus sempat ditunda hingga
13–14 Agustus, lalu diunggah kembali pada jadwal awal sebelum akhirnya ditarik
dan dipublikasikan ulang. Inkonsistensi ini menimbulkan kebingungan dan dugaan
negatif di kalangan dosen peserta.
Respons Komisi
X DPR
Prof. Yusuf dari
Fraksi Partai NasDem menyatakan bahwa aspirasi FKDSI akan dicatat dan dibawa
dalam rapat bersama kementerian.
Ia menegaskan
bahwa persoalan PDDI harus dilihat secara menyeluruh, terutama dari sisi
pendanaan dan tata kelola. “Biaya pendidikan per dosen mencapai Rp250–300 juta,
sehingga total anggaran bisa menembus Rp1,8 triliun. Persoalan pendanaan
menjadi tantangan besar,” jelasnya.
Ia juga
menekankan pentingnya transparansi dalam proses seleksi.
“Mengenai kuota
tambahan dan pelaksanaan RDP, hal itu akan dibahas di tingkat pimpinan DPR.
Namun masukan FKDSI tetap kami bawa dalam pembahasan bersama kementerian,”
tambahnya.
Dorongan
Konkret
FKDSI menegaskan
bahwa PDDI merupakan program strategis yang seharusnya mampu meningkatkan mutu
dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Namun tanpa transparansi
dan distribusi kuota yang adil, program ini berisiko kehilangan kepercayaan
publik.
“Harapan kami
sederhana: pemerintah dan DPR harus mengambil langkah nyata. Jangan
sampai program sebesar ini hanya menjadi jargon tanpa hasil yang merata bagi
seluruh dosen di Indonesia,” tutup Renald.