Unggul Islami Enterpreneurship

Permainan Tradisional Tidak Harus Mati di Tangan Kecerdasan Buatan

 


Mitraindonesia--Permainan tradisional satu ini berbahan dasar bambu, terbebas dari bahan berbahaya dan beracun. 

Semasa kecil, kami menyebutnya tulup, ada juga yang menyebutnya bedil-bedilan, pletokan dan lain sebagainya. Pletokan, lantaran berbunyi pletok...pletok...pletok pada saat disodok.

Tulup sebagai senjata tradisional yang berasal dari Kalimantan, khususnya digunakan oleh suku Dayak. Dalam bahasa Indonesia senjata ini juga dikenal dengan nama sumpit.

Adapun ciri senjata tradisional mematikan ini terbuat dari kayu keras atau bambu. Berbentuk seperti tabung panjang yang berfungsi untuk meniup anak sumpit (peluru), biasanya berupa jarum atau lidi tajam yang dilumuri racun alami dari tumbuhan atau hewan.

Mainan yang populer pada era sekitar tahun 1970-1990-an, anak-anak belum terkontaminasi modernisasi permainan berbasis kecerdasan buatan.

Permainan bedil-bedilan (tembakan), tulup maupun pletokan berbahan dasar bambu ini merupakan salah satu permainan yang sangat diminati anak-anak pada waktu itu. Seiring perjalanan waktu, berganti zaman, generasi serta kemajuan teknologi mengakibatkan anak- anak Indonesia tidak ada lagi meminati jenis mainan ini.

Tulup, bedil-bedilan, pletokan berbahan bambu kecil dipotong dua bagian dengan ukuran tak sama, untuk bambu yang pendek dipasangi kayu bisa juga bambu tegak lurus sebagai alat pencetus dari robekan kertas digulung-gulung bulat kecil menyerupai kelereng dan buah kecil sebagai amunisinya.

Permainan ini biasa dimainkan dengan skema peperangan anak-anak di pedesaan. Wahhh seruu pokoknya.

Pletookkk...pletookkk bunyi kencang keluar dari mulut bedil-bedilan/tulup/pletokan menyebutnya, dan peluru pun melesat mengenai sasaran, tapi ngga bakal sakit kok karena pelurunya dibuat dari kertas atau buah kecil.


Permainan Mengasah Logika Anak

Permainan yang mengasah logika anak-anak untuk menciptakan sebuah senjata alami berbahan dasar dari bambu muda.

Mainan tradisional bedil-bedilan, pletokan maupun tulup sebutannya yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara disodok mirip bola biliar ini biasanya melibatkan dua atau lebih pemain yang saling "bertarung".

Tujuan permainan ini untuk menjatuhkan atau mengeluarkan lawan dari arena permainan. Permainan bedil-bedilan pletokan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga melatih keterampilan motorik, strategi, dan sportivitas anak-anak. Selain itu, permainan tradisional ini juga membantu melestarikan budaya dan warisan nenek moyang dari kepunahan.

Seiring perkembangan teknologi permainan anak-anak yang mengandalkan intelejen, strategi serta imajinasi tempur bergrilya itu hilang dari muka bumi, tergantikan permainan berbasis kecerdasan buatan.

Mungkin, Pemerintah lebih mendewakan kurikulum berbasis kecerdasan buatan sebagai penyelamat manusia dari kehidupan, ketimbang mengembangkan pengetahuan lokal yang realistis dengan kehidupan kita sendiri.

Kehadiran AI memang membawa banyak manfaat. Aplikasi edukasi, permainan berbasis simulasi, hingga robot pintar menawarkan cara belajar dan bermain yang interaktif. Anak-anak tak perlu keluar rumah untuk merasakan dunia yang "seru". Tapi di balik semua itu, ada yang hilang interaksi langsung, emosi nyata, dan sentuhan budaya lokal.

Dulu, suara pletok! pletok! menjadi irama khas di sore hari. Anak-anak berlarian di gang sempit, membawa pletokan, mainan tradisional yang terbuat dari bambu, sederhana namun menyenangkan. Senyum dan tawa mengiringi setiap tembakan kecil yang mereka arahkan ke langit atau teman sepermainan. Tak ada teknologi canggih, tak ada layar sentuh. Hanya kreativitas, kebersamaan, dan alam sebagai ladang bermain.

Pletokan biasanya dibuat sendiri oleh anak-anak atau bersama ayah dan kakak. Proses pembuatannya menjadi bagian dari keseruan itu sendiri. Sebilah bambu, peluru dari kertas basah atau biji, dan teknik sederhana yang diwariskan turun-temurun.

Namun, kini pletokan nyaris tak terdengar lagi. Anak-anak lebih akrab dengan gawai digital daripada rerumputan dan potongan bambu. Pletokan pun perlahan lenyap, terkubur oleh perkembangan zaman dan arus globalisasi. 

Ia kini tinggal kenangan, tersimpan dalam ingatan mereka yang pernah merasakannya, atau dalam catatan sejarah budaya permainan anak Indonesia.

Padahal, pletokan bukan sekadar mainan. Ia adalah simbol kreativitas, kebersamaan, dan kearifan lokal. Menjaga dan mengenalkannya kembali bisa menjadi cara untuk merawat jati diri budaya bangsa.


Permainan Tradisional Tumpul dengan Kecerdasan Buatan

Frasa "Permainan Tradisional Tumpul dengan Kecerdasan Buatan" bisa diartikan sebagai sebuah refleksi atau kritik terhadap bagaimana permainan tradisional mulai kehilangan daya tarik atau "ketajamannya" di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Bisa juga dimaknai sebagai bentuk kekhawatiran bahwa teknologi, termasuk AI, mulai menggantikan fungsi sosial dan edukatif dari permainan tradisional.

Namun kini, di tengah arus kecanggihan teknologi, termasuk hadirnya kecerdasan buatan, permainan tradisional mulai tumpul. Tak lagi menjadi pilihan utama anak-anak masa kini.

Kehadiran AI memang membawa banyak manfaat. Aplikasi edukasi, permainan berbasis simulasi, hingga robot pintar menawarkan cara belajar dan bermain yang interaktif. Anak-anak tak perlu keluar rumah untuk merasakan dunia yang "seru". Tapi di balik semua itu, ada yang hilang interaksi langsung, emosi nyata, dan sentuhan budaya lokal.

Namun, semua belum terlambat. Justru di era AI ini, permainan tradisional bisa dihidupkan kembali—bukan dengan menolak teknologi, tapi dengan memadukannya. Permainan tradisional tidak harus mati di tangan AI.

Sebaliknya, AI bisa menjadi alat untuk mengemasnya kembali, agar tetap tajam dan relevan di zaman digital. Kuncinya ada pada niat kita untuk menjaga warisan budaya, sambil bijak memanfaatkan teknologi.

Baca Juga
Posting Komentar